Sunday, April 13, 2008

Dikejar Macan Gunung


(Pengalaman tak terlupakan bersama Almarhum Gindarto Danardono)



Aku kerap mendaki gunung bersama Danar dan Sulis, serta teman-teman Puapala yang lain. Persahabatan kami melintasi angkatan di Smandel. Selain Danar di angkatan Smandel 80 ada Yoyoi Nurul, Nina “Boy” Mamat, Anton, Avi, dsb. Smandel 81 selain diwakili Chormen ada juga Aria, Deden, Iriana, Erico, Ady, Agus, Fiera, Vivi, Pipin, dkk. Dan Smandel 82, ada Iyus, Daud, Umbul, Indra, Ade Rivai, Ibung, Hendra Pacet, dan seterusnya, selain Sulis.

Menembus ke angkatan yang lebih tua antara lain ada dr Chicho (Siswo, Smandel 74 atau 75, kalau tidak salah), kemudian dr Acing (Setia, Smandel 76), Okto, Ciwo, sampai ke angkatan 83 kemari. Ada Embong, Maman, Gopang, Yudis, Asep Kebo, Idhom, dan kawan-kawan, yang maaf aku tidak bisa ingat lagi satu per satu.

Persahabatan kami pun tentu saja jauh sekali dari batasan “demarkasi” anak IPA atau anak IPS. Kami masih terus bersahabat sekalipun telah lulus SMA, dan masing-masing dari kami sudah kuliah atau bekerja di lain tempat. Kekompakkan kami kemudian terjalin di EXPA, simpelnya merupakan singkatan dari eks Puapala, yang digagas dan dimotori sahabat kami, Danar.

Dulu, setiap bulan atau bahkan ada yang bilang hampir setiap minggu kami beraktifitas di alam bebas, mendaki gunung. Kami benar-benar bersatu meluangkan waktu, mencium aroma gunung dan tanah-basah pedesaan. Lambaian pakis dan tetumbuhan hutan. Kicau burung, pekik si amang dan suara-suara serangga, diimbangi gambar siluet pelangi di kejauhan. Masa indah yang benar-benar tidak terlupakan.

Perjalanan mencapai Cibodas di kaki gunung Gede-Pangarango, “taman bermain” kami ini ditempuh dengan beragam cara. Ada yang naik mobil omprengan, bis AKAP, atau ada pula yang bersepeda motor. Bahkan tak jarang diantara kami ada yang menumpang truk dari Cililitan menuju ke arah Puncak, Cipanas. Jika kurang duit, kami pun rela dan dengan riang gembira berjalan kaki dari simpang Cimacan ke Cibodas sejauh sekitar 5-6 Km.

Kelihatan maksa sekali ya, tapi itulah kami di saat itu. Perjalanan dan kenikmatan mendaki seperti tak ada yang bisa menandingi. Seperti kecanduan. Sekalipun sempat ada larangan bagi anggota Puapala dilarang mendaki gunung dari ibu Mariana, selaku Pembina Puapala, kami terus lakoni kegiatan ini. Namanya juga anak-anak, semakin dilarang membangkangnya semakin menjadi!

Awal Pendakian
Setelah semua berkumpul, kami tidak bisa segera mendaki. Mengingat kegiatan kami yang tidak memiliki surat ijin dari sekolah. Karenanya kami menunggu rombongan pendaki lain yang memiliki ijin pendakian. Persaudaraan sesama pencinta alam terbukti disini. Untuk mendapatkan “kuota” dari rombongan lain yang berijin, maka rombongan kami pun dipecah untuk bergabung dengan rombongan lain.

Biasanya aku bergabung dengan rombongan berikutnya. Jika tidak memungkin-kan, Danar juga akan ikut rombongan selanjutnya. Biasanya sekitar setengah jam kemudian kutemui rombongan yang telah berangkat lebih dahulu. Dan mereka memang sengaja melambatkan perjalanan untuk menunggu yang belakangan. Jadilah kami rombongan yang utuh. Kalau sudah begini tak ada lagi rasa capek dan sepi malam yang menggigit. Celoteh dan kejailan Danar mungkin yang paling dominan.

Ada syair lagu yang dia pelesetkan. Seperti lagu Bing Slamet, “Nonton Filem”, menjadi “Filem ada, tau-tau filem abis. Filem abis, tau-tau filem ada”, dengan syair itu-itu saja yang diulang-ulang. Sekali waktu dia menirukan suara komentator TV tersohor, Sambas, yang menyiarkan pertandingan bulu tangkis. Katanya, serve oleh Icuk Sugiarto. Icuk- Prakash, Icuk- Prakash. Icuk- Prakash. Icuk, Icuk, Icuk, Icuk... Nah lho? Ya, terang aja kata dia. Orang kok-nya ga dipukul ke seberang net oleh si Icuk, melainkan dia pantul-pantulkan sendiri di raketnya. Emang ada main badminton begitu?! Dasar Danar.

Sepanjang jalan yang ada ger-ger-an. Bersambung-sambung dan bergantian kami melawak, tak habis-habis! Perjalanan yang terjal mendaki, jadi tidak terasa lagi. Jika tiba waktu beristirahat setelah berjalan cukup lama, canda dan tawa akan bergema lagi.

Kemudian sampailah kami di Kandang Batu. Suatu tempat di pinggang gunung Gede- Pangrango, dimana terhampar batu-batu vulkano besar. Penampang batunya bisa untuk kami duduk, bahkan merebahkan diri. Ini merupakan bagian lembah yang cukup luas untuk kami membuka tenda atau bivak.

Di sini di suatu saat, Danar mendatangiku sambil berkata “Men, anak anak elo mau bawa kemana?” tanya dia.
“Gede” jawabku singkat.
“Kalau gitu gue jalan duluan ya Kita ketemu di puncak gunung Gede ya”

Rombongan kami pun beristirahat agak lama disini. Ada yang mendengkur, ada yang giginya gemeretak. Ada juga yang berbagi sarung, satu sarung dipakai tiga orang. Huuuuuuuuuuu, dingin sekali. Lima belas, tiga puluh menit kemudian kami jalan lagi. Melewati sungai air panas, yang mengobati kami dari rasa dingin. Sejurus kemudian kami sampai di Kandang Badak. Kubayangkan di tempat ini, biasanya Danar berinisiatif mengambil air jernih bagi persediaan masak dan minum kita semua. Mendaki sedikit dari sini kita akan ketemu sadel, gigir pegunungan, yang menjembatani gunung Gede dengan gunung Pangrango.

Dikejar Macan Gunung
Seperti biasa aku dan Aria, saudara kembarku, demikian banyak orang berkata, berangkat belakangan. Tugas kami menyapu teman-teman yang ketinggalan.
Teman yang kami temui pertama ya teman perempuan. Gadis-gadis manis. Tapi itu dulu... Sekarang mereka sudah jadi emak-emak semua, sebab kami pun sekarang sudah jadi bapak-bapak.

Kalau sudah begini, capenya naik gunung mulai terasa. Terjal lereng gunung semakin tidak bisa diajak kompromi. Baru beberapa langkah biasanya kami harus istirahat untuk mengumpulkan tenaga lagi untuk menyongsong tanjakan yang di depannya lagi. Biasanya kami akan saling memberi semangat. Beri target jika sepuluh langkah baru boleh beristirahat. Atau, menghitung “Satu, dua, ti.......ga........., istirahat ach”, dan seterusnya.

Dalam suasana itu tidak lupa kami terus bercanda dan cela-celaan. Sesekali melintas bau belerang dari kawah gunung Gede. Aroma yang khas dan terkadang membuat kami rindu. Ini adalah tanda sebentar lagi kita akan tiba di puncak gunung Gede.

Tentu Danar sekarang sudah sampai di puncak, atau sedang menunggu kami di lembah Surya Kencana menikmati keindahan dan keharuman Edelweis, si bunga abadi di habitat asli.

Ada Danar berarti mulai rame lagi. Celoteh dan lawakannya keluar spontan. Sebagian yang masih kuingat:
“Rumah apa yang bisa bikin panas, jawabannya rumahson”
“Sandal apa yang bisa ngilangin haus, green-sandal jawabannya”

...Tapi kok tiba tiba Danar muncul di belakang... Sulis terlihat sedikit bingung dengan keberadaan Danar yang tiba-tiba. Begitu juga sebagian besar dari kami. Supaya tidak penasaran biar aku yang menanyakan...
“Nar, kok ada di belakang...Bukannya tadi ente jalan duluan ke puncak Gede?”
“Ya Men, gue berangkat duluan tapi ke Pangrango dulu abis gitu gue langsung menyusul kalian ke sini” katanya enteng.

Ini artinya... Danar dari Kandang Badak ke Pangrango, naik tanjakan yang terjal dan panjang, ketemu Mandala Wangi tempat Gie berpuisi, terus langsung turun lagi ke Kandang Badak, naik sadel Gede-Pangrango, untuk bisa menyusul kami. Bukan main...

Bukan sekali dua kali saja kami mendaki dikejar oleh macan gunung, sebab Danar itu si macan gunungnya.

Untuk Dani (juga Daven, Naya)
Hari Selasa kemarin, di awal April ini aku jemput Wicak di SMPN 216, Jakarta. Satu sekolah dia dengan kamu. Anakku itu kamu tahu kan, duduk di kelas 8, sedangkan Dani kelas 9. Dari kejauhan aku lihat Dani, mencangklong tas warna merah. Ah, terbayang lagi sosok Danar semasa kami bersekolah dahulu. Alangkah cepatnya waktu, dan sekiranya dia dapat diputar kembali...

Dani, jadilah selayaknya Gindarto “Macan Gunung” Danardono yang tak gampang menyerah. Seperti ketegaran dan ketenangan Almarhum saat mengetahui telah mengidap kanker Paru-paru stadium 4, sebab kamu sekarang adalah tumpuan asa bagi Ibu dan adik-adik. Sedang, masa depan masih jauh terentang.

Dani, Daven, dan Naya (juga mbak Nita, isteri tercinta Danar)...
Sungguh dalam menulis ini kami masih merasa sangat berduka. Serasa dia masih ada. Waktu memang kelewat singkat, tapi hidup tidak berarti kejam. Jalannya telah digariskan oleh Allah SWT. Kita hanya tinggal menjalaninya saja. Seperti gemericik air di sungai Gede-Pangrango, tempat Danar biasa mengambil persediaan air bersih- jernih untuk kita semua.

Tulisan ini sama sekali tidak akan mungkin menggantikan ayah tercinta kalian. Cuma sekedar cara kami untuk mempersembahkan kenangan kepada seorang sahabat terbaik yang pernah ada. Ketulusan ucapannya selalu disertai kesungguhan tindakan.

Yakin kami sekarang... Danar sedang tersenyum dalam pelukanNya. Seyakin kami pula bahwa dia, si Macan Gunung, akan selalu ada di hati kita semua.


Aku,
Chormen-Sulis
(diedit oleh Endang sebagai bahan lembar obituari pada buku 50 th SMAN 8 Jakarta )